Pages

Monday, August 25, 2014

Siswa Memilih "Ngidep"

25 Agustus 2014

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2014/08/25/271297/10/Siswa-Memilih-Ngidep


Purbalingga diidentikkan sebagai kabupaten penghasil rambut dan bulu mata palsu kelas dunia. Keberadaan industri tersebut secara tidak langsung memberi kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan industri padat karya, tenaga kerja yang terserap cukup besar. Bahkan  perusahaan juga menyokong  investasi industri di Indonesia.

Berdasarkan penelitian Lem¬baga Penelitian, Pengem¬bangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH), sejumlah perusahaan itu di Pur¬balingga menyumbang 56,1% total investasi industri secara nasional.
Ribuan lowongan kerja di perusahaan dan plasma tersebut dibuka tiap hari tanpa syarat ketat, tidak melihat usia ataupun ijazah. Tidak mengherankan, ngidep (bekerja membuat bulu mata palsu) menjadi ’’cita-cita’’ sebagian be¬sar penduduk muda di Purbalingga.

Di sisi lain lapangan kerja padat karya tersebut justru menjadi bumerang bagi dunia pendidikan. Pesatnya plasma industri rambut dan bulu mata palsu hingga pelosok desa terpencil, memengaruhi minat melanjutkan sekolah, baik lulusan SD/MI maupun SMP/MTs.

Gejala tersebut dirasakan cukup lama oleh pemkab. Tahun 2011, 6,55% lulusan SD/MI tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya, dan 42,5% untuk lulusan SMP/MTs (Pikiran Rakyat Online, 15 /7/11).
Ke mana mereka? Meskipun belum ada yang meneliti resmi, beberapa pengamat pendidikan beberapa waktu lalu menyinyalir selama ini banyak anak putus sekolah memilih  bekerja di plasma industri rambut dan bulu mata palsu. (http://www.tempo.com, 21 /9/12).

Realitas itu kembali terjadi akhir-akhir ini. Banyak sekolah di Purbalingga kekurangan murid baru dan kuota tak terisi 100% (SM, 18/7/13). Disinyalir, mereka yang tidak melanjutkan sekolah lebih memilih ngidep. Kondisi ini tentu membuat prihatin berbagai pihak.

Bahkan tidak hanya itu. Keberadaan plasma di pelosok juga memicu tingginya angka putus sekolah. Banyak siswa yang sudah duduk di SMP/MTs mengambil keputusan meninggalkan sekolah dan lebih memilih ngidep.

Keberadaan plasma industri rambut dan bulu mata akan menjadi  bom wak¬tu. Jika semakin banyak warga yang hanya lulus SD atau SMP  maka Pur¬balingga akan kekurangan tenaga ahli dan mutu SDM akan rendah. Mereka hanya bisa menjadi buruh bergaji kecil. Bisa dibayangkan, kondisi Purbalingga beberapa puluh tahun ke depan.

Perlu mencari solusi yang menguntungkan berbagai pihak. Upaya mendesak adalah memperbaiki persyaratan calon pekerja. Saat ini untuk menjadi pengidep di plasma rambut boleh dikatakan tanpa syarat. Mereka tak harus memiliki ijazah, telah mencapai usia tertentu, atau berpengalaman. Tidak heran banyak lulusan SD dan SMP yang tergolong usia anak dapat dengan mudah bekerja.

Pemkab perlu mengatur tentang syarat usia dan ijazah minimal. Din¬sosnakertrans perlu membuat kebijakan tentang pekerja di plasma dan menindak tegas andai memperkerjakan anak. Bertolak dari program Wajib Belajar 9 Tahun, seyogianya untuk bekerja di plasma minimal berijazah  SMP/sederajat. Lebih baik lagi jika mendukung program pendidikan universal hingga minimal SMA-/sederajat.

Bagi usia sekolah yang sudah terlanjur bekerja di plasma perlu diberi kesempatan meningkatkan pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka kelompok belajar paket B dan A di sekitar plasma. Sebagai pencegahan agar lulusan SD dan SMP memilih melanjutkan sekolah dan bukan ngidep, pemerintah dapat memberdayakan masyarakat ekonomi mampu untuk menjadi orang tua asuh.

Program Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) atau sejenisnya yang dapat membantu mereka dari kesulitan ekonomi untuk tetap sekolah dapat digiatkan kembali. Jika semua usaha itu terealisasi, niscaya Purba¬lingga akan terhindar dari keterpurukan SDM. (10)