Pages

Thursday, December 12, 2019

Kejayaan Rambut Palsu Indonesia di 40 Negara

Danang Nur Ihsan  12 Desember 2019

Banyaknya perminataan kebutuhan rambut palsu dan terbatasnya bahan baku sempat melahirkan pasar rambut di Karangbanjar, Purbalingga pada 1963.

JEDA.ID–Bicara rambut palsu di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran ribuan ibu-ibu yang bekerja di industri rumahan di Purbalingga, Jawa Tengah dan Sidoarjo, Jawa Timur. Dua daerah inilah yang menjadi pusat produksi rambut palsu asal Indonesia yang sudah mendunia.

Tak tanggung-tanggung, rambut atau bulu mata palsu dari Purbalingga dan Sidoarjo ini sudah masuk level premium. Bila kalangan artis Tanah Air atau mancanegara mengenakan rambut atau bulu mata palsu merek Diva’s Wig atau Fair Lady, artinya itu buatan Purbalingga atau Sidoarjo.

Cerita rambut palsu di Purbalingga tak bisa lepas dari sosok Tarmawi yang tinggal di Desa Karangbanjar, Bojongsari. Era 1950-an, Tarmawi mengumpulkan potongan rambut untuk dibuat sanggul. Sanggul buatan Tarmawi ini ternyata laris manis saat hajatan pengantin.

Sanggul buatannya langsung berkibar karena harus memenuhi permintaan konsumen dari Purbalingga dan berbagai kota lain di Jawa Tengah sampai Jakarta. Awalnya dari sanggul Jawa tekuk kemudian berkembang ke sanggul modern sampai sanggul cepol.

Kemudian berkembang lagi membuat rambut sambung, rambut palsu, sampai jenggot palsu. Keterampilan itu kemudian menular ke beberapa orang di Desa Karangbanjar dan para perajin itu mulai membentuk home industry.

Banyaknya perminataan  dan terbatasnya bahan baku sempat melahirkan pasar rambut di Karangbanjar pada 1963. Pasar rambut itu selayaknya pasar tradisional yang menawarkan rambut sisa potong atau sisa sisiran rambut.

Penyedia bahan baku datang dari berbagai daerah di luar Purbalingga dan pengrajin sanggul membelinya. Namun, kini pasar rambut itu kini sudah tidak ada.

Sebagaimana dikutip dari indonesia.go.id, Rabu (11/12/2019), kini bahan baku disediakan pemasok lama dan pengepul rambut asal Karangbanjar.

Para pengepul rambut ini sebagian adalah petani. Jika musim tanam atau panen tiba, mereka tidak bisa mengumpulkan bahan baku rambut. Kini, bahan baku tidak hanya berupa potongan rambut asli namun juga bahan sintetis yang didatangkan dari Korea Selatan, Jepang dan China.


Sempat Meredup

Industri ini sempat meredup pada era 1970-an. Kala itu, beberapa negara seperti India, Bangladesh, Senegal, dan Filipina, mulai memproduksi komoditas sejenis.

Untungnya hal itu tidak terlalu lama. Pasar dunia akhirnya kembali menjatuhkan pilihan ke buatan Indonesia karena buatan negara lain dinilai tidak memuaskan, Misalnya konsumen Inggris menilai kualitas buatan Indonesia sangat baik karena halus.

Pasar dunia pun kembali mencari produk Indonesia karena kualitasnya memang jempolan dan seleranya mengikuti tren dunia. Era 1990-an, ekspor rambut palsu menjadi andalan terutama setelah beberapa pabrik berdiri di Purbalingga dan Sidoarjo.

Pabrik di Sidoarjo dengan cepat memenuhi selera konsumen rambut palsu dan bulu mata palsu di AS dan Afrika dengan merek Diva’s Wig yang digemari dunia itu.

Di Purbalingga, komoditi ini menarik perhatian beberapa investor dan mereka mulai menginvestasikan uangnya dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA).

Kini ada sekitar 28 PMA di Purbalingga (sebagian besar dari Korea Selatan), selain puluhan home industry yang masih beroperasi. Bisnis ini menyerap sekitar 55.000 tenaga kerja.

”Ini adalah produk kebanggaan dari Purbalingga. Ternyata wig-wig ini diekspor dan merupakan produk yang luar biasa bahkan ini juga home industry,” ujar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo beberapa waktu lalu sebagaimana dikutip dari laman Pemprov Jateng.

Salah satu perajin rambut palsu di Purbalingga, Riyanto, menyebutkan usahanya diturunkan orang tua dan kini kian berkembang. Pemasaran rambut sanggul yang diproduksi tidak hanya merambah daerah sekitar seperti Jakarta dan Surabaya, juga menembus pasar luar negeri.

Peraih rekor Muri 2003 sebagai pemrakarsa pembuatan sanggul terbesar dengan diameter 2,8 meter dan panjang 3 meter itu menjelaskan saat ini ada sekitar 1.500 usaha rumahan rambut palsu baik sanggul maupun wig.

Kendala yang mereka hadapi adalah pasokan bahan baku yang terbatas. Bahan baku beragam rambut palsu terdiri dari dua jenis, yaitu rambut asli seharga Rp900.000 per kilogram dan bahan baku sintesis. Bahan sintesis baru seharga Rp60.000 per kilogram sedangkan sintesis limbah Rp30.000 per kilogram.


Pengrajin Plasma

Industri komoditas ini di Purbalingga sedikit berbeda dengan di Sidoarjo. Jika di Sidoarjo semua pengelolaan bahan dan pengerjaan dikerjakan oleh pabrik, di Purbalingga sebagian pengerjaannya diserahkan ke perajin.

Misalnya pengumpulan dan klasifikasi bahan baku, pembersihan, dan pengerjaan awal. Sedangkan pengerjaan lanjutan seperti penentuan model, pembuatan gelombang (ikal atau lurus) dan pewarnaan dikerjakan di pabrik.

Kemudian untuk bulu mata, dimulai oleh perajin seperti menempelkan rambut pada seutas benang. Perajin yang bermitra dengan pabrik dan mengerjakan sebagian pekerjaan awal disebut perajin plasma.

Di pabrik, tidak semuanya dikerjakan dengan mesin karena beberapa bagian masih dikerjakan dengan tangan (handmade) oleh buruh pabrik. Inilah yang jadi pembeda rambut palsu Indonesia dan negara lainnya seperti China.

China yang kini menjadi pesaing utama karena pengerjaannya menggunakan mesin. Dengan mengandalkan mesin, jumlah rambut palsu buatan China jauh lebih banyak. Namun, urusan kualitas, rambut palsu Indonesia lebih unggul.

”Komoditi Indonesia ini menguasai sebagian besar kebutuhan dunia, khususnya Amerika Serikat, Eropa, Afrika dan Asia sendiri. Jika disisir lagi, selama 30 tahun terakhir ini perajin dan dan pabrikan Indonesia telah mengekspor kurang lebih ke 40 negara tujuan.”

Di pasar Asia, negara penyuka rambut dan bulu mata palsu produk Indonesia adalah Malaysia, Jepang, Arab, Thailand, Bangladesh, China, Singapura, dan Iran. Sedang negara Eropa yang menyukai rambut palsu Indonesia adalah Belanda dan Inggris. Sedangkan negara Afrika adalah Nigeria.

Nilai ekspor pun kian melonjak dari tahun ke tahun. Misalnya sejak 2013 rambut palsu menyumbang 30% dari ekspor kelompok handycraft senilai Rp9,7 triliun. Pada 2015 produk ini alami surplus sekitar Rp4,7 miliar dan menguasai sekitar 7,28% total ekspor dunia.


Sumber :
https://jeda.id/stories/kejayaan-rambut-palsu-indonesia-di-40-negara-3311

Wednesday, December 4, 2019

Dinaker Purbalingga Merasa Kecolongan, Masalah PT NVI Makin Banyak

Dinaker Purbalingga Merasa Kecolongan, Masalah PT NVI Makin Banyak, Gunakan Tenaga Kerja Asing Tanpa Izin

4 Desember, 2019

Setelah diberitakan beroperasi tanpa izin yang lengkap, kejanggalan lain yang berkaitan dengan PT Nina Venus Indonusa kembali terkuak. Kali ini setelah Dinas Tenaga Kerja (Dinaker) Kabupaten Purbalingga merasa kecolongan dengan beroperasinya perusahaan tersebut.

Masalah yang dimaksud adalah penggunaan tenaga kerja asing (TKA) yang tidak disertai izin sesuai prosedur. Selain itu, PT NVI juga dinilai tidak menjalankan wajib lapor ke Dinaker.

Pegawai Dinas Tenaga Kerja Jateng, Bidang Pengawas Tenga Kerja, Angkat Lujeng membenarkan hal ini. Menurutnya, pihaknya melakukan klarifikasi, ternyata PT Nina Venus Indonusa ini belum melaksanakan wajib lapor ke Dinas Tenaga Kerja. Padahal hal itu menjadi bagian yang wajib dilakukan oleh perusahaan ketika sudah beroperasi.

“Setelah kita klarifikasi di sana (PT NVI, red), masalah perizinan ranahnya kantor perizinan dan DLH, yang ada keterkaitan dengan kami adalah terkait UU ketenagakerjaan. Ternyata PT Nina belum melaksanakan wajib lapor sebagaimana UU 7 tahuh 81, wajib lapor ke dinas kami, kalau tidak dilaksanakan dalam waktu satu minggu ini kami langsung tindaklanjuti Tipiring,” kata Angkat, Selasa (3/12).

Selain masalah wajib lapor, diketahui juga kesalahan lain yakni terkait dengan Keselamatan kesehatan kerja yang juga belum ada sama sekali. Di antaranya, penangkal petir, jenset, dan hal-hal yang menyangkut instalasi. “Padahal, sebelum dioperasionalkan harus diperiksa, diuji, oleh pengawas spesialis atau pihak ketiga, itu belum dilaksanakan,” ujarnya.

Dia menambahkan, pengakuan dari manajemen, pekerja di PT NVI memang belum didaftarkan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, ternyata ada TKA yakni Mr Pak. Saat dilihat data dan berkas-berkasnya, diketahui izin kerja Mr Pak itu ada di Sukabumi bukan di Purbalingga.

“Setelah saya minta datanya, memang adanya pelanggaran bahwa Mr Pak izin kerjanya di kabupaten dan Kota Sukabumi, ternyata yang bersangkutan kerja di Purbalingga. Sudah saya tegur, kita tidak mentolelir, saudara Mr Pak harus keluar dari Purbalingga,”katanya.

Saat klarifikasi, Angkat mengaku dibawa ke ruangan oleh Mr Kim. Mr Kim meminta untuk dibantu dalam membereskan kekurangan dan memberikan toleransi. “Mr Kim juga sempat minta tolong, saya dibawa ke ruang, minta dibantu, saya jawab tidak bisa. Sementara Mr Pak tidak bisa kerja di wilayah Purbalingga. Jadi dari aspek tenaga kerja, memang PT Nina sama sekali belum memenuhi aturan,” kata Angkat.

“Kita beri waktu 14 hari (untuk melengkapi persyaratan, red), itu SOP, harus bisa memenuhi. Termasuk TKA, tapi kalau TKA saya jamin waktunya habis, harus keluar dari Purbalingga,” kata Angkat.

Kalau ternyata 14 hari tidak selesai, maka akan dikeluarkan surat teguran kedua, yang batas waktunya 7 hari. Tetapi jika perpanjangan tujuh hari tetap tidak selesai, maka akan meningkat kita pada penyelidikan dan penyidikan. “Kalau tujuh hari belum juga selesi, maka kita tingkatkan lidik dan sidik. Kalau tenaga asing langsung, kita terbitkan surat peringatan. Selama melengkapi ini Mr Pak ini tidka boleh ada di Purbalingga,” katanya.

Sebelumnya dikabarkan, sejumlah personel dari Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Purbalingga mendatangi PT Nina Venus Indonesia (NVI), Kamis lalu. Kedatangan mereka didasari laporan warga terkait beroperasinya pabrik rambut palsu di Desa Kalikabong, Kecamatan Kalimanah meski dokumen perizinannya belum lengkap.

Kasi Dikduk Satpol PP Purbalingga, Sugeng Riyadi membenarkan kabar ini. Menurutnya, saat mendatangi PT NVI, ia ditemui oleh Rina, HRD perusahaan tersebut.  “Ketemu dengan Rina selaku HRD, hasil penjelasannya, 70 persen proses perizinan sudah dilalui,” kata Sugeng.

Meski demikian, perusahaan tersebut belum mengantongi dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL UPL). Padahal dokumen ini menjadi hal sangat penting dimiliki oleh perusahaan, karena terkait dengan dampak lingkungan.(min)


Dikira Milik Perusahaan Lain

Berkaitan dengan persoalan tenaga kerja, Kasi Pengupahan Dinas Tenaga Kerja Purbalingga, Purwanto menjelaskan, gedung PT Nina sebelumnya merupakan gedung PT Yuro. Sedangkan karyawan yang saat ini bekerja di PT Nina juga merupakan pekerja di PT Yuro.

“Itu dulu direkrut oleh PT Yuro, karena Yuro yang merekrut jadi kita pedoman kita itu masih karyawannya Yuro. Terkait dengan statusnya,apakah kontrak atau gimana nanti kita klarifikasi,” katanya.

Terkait dengan masa peralihan, apakah bertepatan dengan habisnya kontrak pekerja atau tidak, pihkanya belum mengkonfirmasikannya. Jika para karyawan PT Nina sudah beralih dari karyawan PT Yuro, maka PT Nina wajib memberikan laporan berupa berita acara. Diketahui, untuk PT Yuro ada sekitar 500 karyawan. Sedangkan yang dipekerjakan di PT Nina sekitar separuhnya.

“Kalau sudah peralihan yang sudah jelas resmi, kita minta juga statusnya, kalau habis kontrak gimana, kalau belum habis kontrak gimana, tapi dilimpahakan itu gimana, jadi nanti kita minta semacam berita acara. Secara regulasi kalau ada peralihan ada berita acara pelimpahan, sementara ini belum ada komunikasi dengan Dinaker,” kata Purwanto.

Dia menambahkan, untuk kondisi bangunan PT Nina memang belum 100 persen siap. Dikabarkan PT Nina akan launching pada bulan Januari 2020. Oleh karena itu, Dinaker meminta dipersiapkan semuanya secara administrasi dan status karyawannnya.

“Rupanya tempatnya belum 100 persen isap artinya belum semuanya. Oleh karena itu kita pesen pada saatnya per kapan PT Nina ini pindah atau berstatus PT kita minta berita acara, stausnya apa kita minta, belum semuanya karyawan pindah, karena ini peralihan,” katan


Sumber :
https://satelitpost.com/beritautama/dinaker-purbalingga-merasa-kecolongan-masalah-pt-nvi-makin-banyak-gunakan-tenaga-kerja-asing-tanpa-izin

Tuesday, December 3, 2019

Belum Kantongi Izin, PT. Nina Venus Indonusa Pekerjakan TKA Dengan Izin Kerja Bermasalah

Desember 3, 2019

Disinyalir belum mengantongi izin PT. Nina Venus Indonusa, salah satu perusahaan yang bergerak dibidang rambut palsu ( Wig ) di Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Kalimanah Purbalingga sudah beroperasi.

Satwasker wilayah Banyumas, saat sidak ke perusahaan tersebut ( 2/11 ) mendapatkan beberapa temuan pelanggaran. Lujeng, Satwasker Wilayah Banyumas menyampaikan ” Sesuai dengan aduan masyarakat, yang mengatasnamakan LSM Incident Java Independent (IJI), bahwa ada indikasi pelanggaran pada PT. Nina Venus Indonusa. Kami sudah berkoordinasi dengan pihak Satpol PP, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Purbalingga dan DPMPTSP Purbalingga”.

Luneng menerangkan, bahwa ada empat temuan pelanggaran saat sidak tersebut. Pertama, PT. Nina Venus Indonusa memang belum melaksanakan wajib lapor, sebagaimana UU nomor 7 tahun 1981. Kedua, terkait dengan K3 ( keamanan, kesehatan dan keslamatan kerja) juga belum ada sama sekali. Ketiga, informasi dari HRD yang di dampingi Mr. Kim ( owner) dan Mr. Park (TKA), bahwa 560 karyawan, belum diikutsertakan BPJS Ketenagakerjaan. Kemudian yang terakhir masalah adanya TKA ( Tenaga Kerja Asing ) atas nama Mr. Park. Setelah kita meminta datanya, memang ada pelanggaran, bahwa Mr. Park izin kerjanya itu di wilayah Kabupaten Sukabumi bukan Purbalingga. Sudah kita tegur dan kita tidak bisa mentolelir, harus keluar dari Purbalingga.

Terkait karyawan yang diduga adalah peralihan dari PT. Yuro Mustika, Kasi Pengupahan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Purbalingga, Purwanto mengatakan, ” Normatifnya dulu direkrut oleh Yuro, jadi karena Yuro yang merekrut, kita pedomannya itu masih karyawan Yuro. Yang kedua, ini memang ada peralihan, terkait dengan peralihan, apakah ini bertepatan dengan habis kontrak apa engga, pada saatnya nanti kita konfirmasi, karena nanti pada saat peralihan resmi, itu kan nanti kita minta juga statusnya “.
Kepala DPMPTSP Kabupaten Purbalingga, Ato Susanto, saat di konfirmasi tentang izin PT. Nina Venus Indonusa melalui telepon seluler mengatakan, ” Dia kan mengurus lewat OSS, Tadi itu NIB sudah ada, tinggal beberapa komitmen belum terpenuhi semua. Itu otomatis, kalau komitmen itu terpenuhi, otomatis ijin usaha itu berlaku, jadi DPMPTSP itu tidak mengeluarkan izin, dia ngakses lewat OSS, setelah komitmen terpenuhi semua maka itu berlaku “.

Ketua APINDO Kabupaten Purbalingga, Rocky dalam kesempatannya ikut menanggapi, bahwa dirinya mendukung dengan adanya investor baru yang masuk di Purbalingga, akan tetapi aturan harus tetap di jalani.Dia menekankan pada satu hal, yaitu tentang ketersediaan tenaga kerja, masalahnya untuk area sekitar situ dalam radius 5 km sudah ada 5 Perusahaan dengan produksi sejenis.
Kasi Dikdak Satuan Polisi Pamong Praja ( Satpol PP) Kabupaten Purbalingga, Sugeng Riyadi memberikan konfirmasi melalui pesan singkat, ” pada prinsinya kita mendukung investasi, namun harus juga di penuhi persyaratannya. Hanya saja informasi yang saya dapat sedang dalam proses, sementara pengajuan ijin sekarang sudah memakai sistem OSS, jadi untk bisa mngetahui akses data itu hanya pihak pemohon, dan kami tekankan agar untuk secepatnya di selesaikan dengan ijin lingkungan salah stunya sebagai jembatan untuk permohonan ijin usaha”.

Prinsip, harus ditegakkannya aturan, LSM sebagai kontrol sosial mempunyai kewajiban mengingatkan pihak pihak yang terindikasi melanggar aturan, tentunya dengan ikut serta memberikan masukan pemikiran positif, kata Rasno, Ketua Umum LSM IJI.
Tugas Bangsa News mencoba meminta konfirmasi dari pihak PT. Nina Venus Indonusa, akan tetapi pihak Perusahaan melalui Satpam, Suwito menyampaikan, belum dapat dikonfirmasi karena masih banyak kesibukan.


Sumber :
https://www.tugasbangsanews.com/2019/12/03/belum-kantongi-izin-pt-nina-venus-indonusa-pekerjakan-tka-dengan-izin-kerja-bermasalah/

Wednesday, November 27, 2019

Rambut Palsu Indonesia Terbukti Jempolan

RAMBUT PALSU
27 November 2019, 03:52 WIB

Bagi artis kelas dunia, memakai bulu mata palsu atau rambut palsu (wig) adalah lumrah. Untuk dua hal itu, tak jarang mereka memilih buatan Indonesia karena terbukti bermutu prima. Tak salah jika produksi rambut dan bulu mata palsu jadi komoditi andalan Indonesia untuk ekspor ke mancanegara.

Jika melihat artis tanah air atau mancanegara tampil di televisi, mereka sering berdandan sempurna untuk keperluan hiburan. Bila mereka memakai merek Diva’s Wig atau Fair Lady, artinya mereka memakai rambut atau bulu mata palsu buatan home industri dari Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, atau Sidoarjo, Jawa Timur, yang dikerjakan kaum ibu.

Komoditi penting Indonesia ini diawali pada tahun 1950-1951 saat seseorang bernama Tarmawi yang tinggal di Desa Karangbanjar, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten Purbalingga  (Jateng) mulai mengumpulkan potongan rambut untuk dibuat sanggul. Sanggul buatan Tarmawi ini ternyata laris manis saat hajatan pengantin.

Dalam satahun dia tidak saja memenuhi permintaan konsumen dari Purbalingga tapi juga dari kota-kota lain di Jawa Tengah sampai Jakarta. Tarmawi tidak hanya membuat sanggul untuk pengantin tapi juga sanggul Jawa tekuk , sanggul modern sampai sanggul cepol. Juga rambut sambung dan rambut palsu sampai jenggot palsu. Keterampilan itu kemudian menular ke beberapa orang di Desa Karangbanjar dan para perajin itu mulai membentuk home industri.

Karena banyak permintaan dan bahan baku terbatas, pada tahun 1963-an di Desa Karangbanjar sempat ada pasar rambut , yaitu semacam pasar tradisional yang  menawarkan rambut sisa potong atau sisa sisiran rambut. Penyedia bahan baku datang dari berbagai daerah di luar Purbalingga dan pengrajin sanggul membelinya. Pasar rambut itu kini sudah tidak ada.

Kini bahan baku sebagian disediakan oleh pemasok lama, sebagian lagi harus dicari oleh para pengepul rambut asal Karangbanjar. Uniknya pengepul rambut ini sebagian berprofesi sebagai petani, sehingga jika musim tanam atau panen tiba, mereka tidak bisa mengumpulkan bahan baku rambut. Kini, bahan baku tidak hanya berupa potongan rambut asli namun juga bahan sintetis yang didatangkan dari Korea Selatan, Jepang dan China.

Bisnis yang berkembang pesat sejak 1950 ini mengalami masa suram pada era 1970-an. Tahun itu memang beberapa negara juga mulai membuat rambut palsu diantaranya India, Bangladesh, Senegal, dan Filipina. Karenanya, produk asal Indonesia harus bersaing ketat.

Tapi kondisi itu tak terlalu lama. Tahun 1980 pasar dunia kembali mencari produk Indonesia karena rambut palsu asal India tidak memuaskan mereka. Inggris misalnya. Konsumen Inggris menilai kualitas rambut palsu Indonesia sangat baik karena halus. Pasar dunia pun kembali mencari produk Indonesia karena kualitasnya memang jempolan dan seleranya mengikuti tren dunia.

Pada era itu, ekspor rambut palsu mulai diandalkan dan dalam belasan tahun, beberapa pabrik berdiri di Purbalingga dan Sidoarjo. Pabrik di Sidoarjo dengan cepat memenuhi selera konsumen rambut palsu dan bulu mata palsu di AS dan Afrika dengan merek Diva’s Wig yang digemari dunia itu.

Di Purbalingga, komoditi ini menarik perhatian beberapa investor dan mereka mulai menginvestasikan uangnya dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA). Kini ada sekitar 28 PMA di Purbalingga (sebagian besar dari Korea Selatan), selain puluhan home industri yang masih beroperasi. Bisnis ini menyerap sekitar 55 ribu tenaga kerja.

Salah Satu Andalan Ekspor

Jika di Sidoarjo semua pengelolaan bahan dan pengerjaan rambut palsu dikerjakan oleh pabrik, maka di Purbalingga sebagian pengerjaannya diserahkan ke perajin seperti pengumpulan dan klasifikasi bahan baku, pembersihan dan pengerjaan awal. Sedangkan pengerjaan lanjutan seperti penentuan model, pembuatan gelombang (ikal atau lurus) dan pewarnaan dikerjakan di pabrik.

Begitu juga pada bulu mata, dimulai oleh perajin seperti menempelkan rambut pada seutas benang. Perajin yang bermitra dengan pabrik dan mengerjakan sebagian pekerjaan awal disebut perajin plasma. Di pabrik, tidak semuanya dikerjakan dengan mesin karena beberapa bagian masih dikerjakan dengan tangan (handmade) oleh buruh pabrik.

Inilah yang jadi pembeda rambut palsu Indonesia dan China karena di China semua pengerjaannya menggunakan mesin. Ini menimbulkan beberapa konsekuensi, yaitu China sanggup memproduksi jauh lebih banyak dalam waktu singkat. Sedangkan dari segi jumlah (kuantitas) Indonesia lebih sedikit, sedangkan dari sisi kualitas, kita unggul.

Dua puluh tahun ini, komoditi Indonesia ini menguasai sebagian besar kebutuhan dunia, khususnya Amerika Serikat (AS), Eropa, Afrika dan Asia sendiri. Jika disisir lagi, selama 30 tahun terakhir ini perajin dan dan pabrikan Indonesia telah mengekspor kurang lebih ke 40 negara tujuan.

Untuk Asia, negara penyuka rambut dan bulu mata palsu produk Indonesia adalah Malaysia, Jepang, Arab, Thailand, Bangladesh, China, Singapura, dan Iran. Sedang negara Eropa yang menyukai rambut palsu Indonesia adalah Belanda dan Inggris. Sedangkan negara Afrika adalah Nigeria.

Rambut palsu dan bulu mata asal Indonesia sebagian besar buatan tangan alias manual, karena itu dalam rumpun ekspor, komoditi ini dimasukkan dalam kelompok handycraft. Sejak tahun 2013 kelompok produk ini berhasil membukukan nilai ekspor total sebesar US$ 696 juta (sekitar (Rp 9.7 triliun) dan selalu mengalami peningkatan setiap tahun.

Dari jumlah ini ekspor rambut dan bulu mata mengisi slot 30 % dari nilai ekspor handycraft. Pada tahu 2015 produk ini alami surplus sebesar US$ 3,38 juta (sekitar Rp4.7 miliar) dan menguasai sekitar 7,28% total ekspor dunia. Sehingga bisa dikatakan, komoditi ini penting dan menjadi andalan perdagangan Indonesia ke luar negeri.

Hambatan nyata dalam ekspor rambut dan bulu mata palsu Indonesia dalam dua tahun ini adalah persaingan ketat dengan China. Seperti yang sudah dijelaskan di atas meski Indonesia unggul dalam kualitas, tapi secara kuantitas produk China lebih banyak dan murah. Sejauh ini pemerintah sudah membantu para pengrajin dengan kemudahan perolehan bahan baku (terutama sintetis) dan potongan pajak.


Sumber :
https://www.indonesia.go.id/ragam/seni/ekonomi/rambut-palsu-indonesia-terbukti-jempolan

Friday, October 11, 2019

Kemendag soal Industri Bulu Mata Purbalingga PHK 600 Pekerja: Nanti, Saya Lihat Dulu

Jumat, 11 Oktober 2019 19:05

https://www.merdeka.com/uang/kemendag-soal-industri-bulu-mata-purbalingga-phk-600-pekerja-nanti-saya-lihat-dulu.html


Merdeka.com - Produsen bulu mata palsu asal Korea Selatan (Korsel) di Purbalingga menghadapi persaingan sengit dari China. Ekspor bulu mata palsu Purbalingga kian berkurang. Imbasnya pemutusan hubungan kerja (PHK) telah terjadi, di mana 600 pekerja salah satu pabrik kehilangan pekerjaannya.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana mengaku belum dapat berkomentar banyak.

"Nanti dulu. Saya lihat dulu dong. Industrinya apa kayak bagaimana," kata dia saat ditemui di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat (11/10).

Dia mengatakan perlu melihat lebih jauh terkait berita tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan apa saja penyebab turunnya kinerja bisnis perusahaan. "Kan nggak bisa lihat kalah karena apa kan kalau saya nggak tahu industrinya bagaimana," ungkapnya.

Sebelumnya diberitakan, produsen bulu mata palsu asal Korea Selatan (Korsel) di Purbalingga menghadapi persaingan sengit dari China. Ekspor bulu mata palsu Purbalingga kian berkurang. Imbasnya pemutusan hubungan kerja (PHK) telah terjadi, di mana 600 pekerja salah satu pabrik kehilangan pekerjaannya.

Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi, mengatakan produksi bulu mata di China lebih banyak. Di mana, produktivitas tenaga kerja China 9 kali lebih tinggi dari Purbalingga.

Dampak tak terelakkan, di tengah situasi pasar yang melemah, perusahaan mau tidak mau harus mengurangi karyawan agar usahanya tetap berjalan. Hal ini disampaikan usai kunjungannya ke PT Indokores Sahabat, PT Hyup Sung, PT Sun Chang Indonesia, ketiganya merupakan perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) dari Korea Selatan. Serta satu perusahaan pabrik rambut Bintang Mas Triyasa (BMT) yang merupakan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri).

"Beberapa perusahaan PMA bahkan sudah mulai melirik usaha di luar negeri seperti Kamboja, dengan situasi yang kondusif dan upah serta produktivitas tenaga kerjanya lebih baik," ujarnya saat mengunjungi sejumlah pabrik rambut di Purbalingga, Kamis (10/10).

"Kami berharap semua pihak untuk ikut situasi agar lebih baik, dan permintaan kembali pulih. Jika ada permasalahan, diselesaikan dengan baik dan musyawarah sesuai ketentuan regulasi ketenagakerjaan," tambahnya.

Perusahaan Alami Stagnasi

Pemilik PT Indokores Sahabat, Hyung Don Kim, mengakui perusahaan tengah alami stagnasi kinerja. Jika pasaran lesu, dia memprediksi perusahaan hanya bisa bertahan 5-10 tahun. Kim menambahkan, kompetitor bulu mata palsu yang bersaing ketat dari Purbalingga yakni dari China.

"Dari sisi bahan baku, kami mengandalkan dari India dan China. Bahan baku rambut sintetis dari Indonesia kualitasnya kurang bagus, bahkan banyak dicampur bahan lain. Ada juga bahan baku rambut sintetis yang sambungan," kata Kim.

Sementara, pemilik PT Hyup Sung Indonesia, Song Hyung Keun mengakui, produksi bulu mata palsu di perusahaannya menurun tajam seiring dengan permintaan pasar yang menurun karena bersaing dengan China. Biasanya rata-rata produksi per bulan 1,3 juta buah, namun saat ini menurun hingga 30 persen.

Dari sisi harga, bulu mata palsu China juga lebih murah. Sedang sisi kualitas juga sudah menyerupai produk rambut Purbalingga yang dikerjakan secara manual.

"Mau tidak mau, kami harus mengurangi jumlah karyawan dari 1.900 orang menjadi 1.300 orang. Oleh karenanya, kami mengistilahkan, untuk menyelamatkan perusahaan harus memotong ekornya dulu, daripada badannya ikut termakan. Caranya dengan mengurangi karyawan dan meningkatkan produktivitas pekerja (bulu mata palsu) serta inovasi produk," kata Song.

Thursday, October 10, 2019

Industri Wig Purbalingga Hanya akan Bertahan 10 Tahun Lagi

Kamis 10 Oct 2019 18:53 WIB

https://nasional.republika.co.id/berita/pz5qce368/industri-emwig-empurbalingga-hanya-akan-bertahan-10-tahun-lagi


Rep: Eko Widiyatno/ Red: Dwi Murdaningsih

Pekerja pabrik rambut palsu mengenakan pakaian kebaya, dalam rangka memperingati hari kartini di Purbalingga, Jateng, Kamis (21/4).

Pasar rambut palsu saat ini sedang sepi dan kalah dengan produk Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, PURBALINGGA -- Sengitnya persiangan industri rambut dan bulu mata palsu di pasar global, berdampak pada ketahanan industri serupa di Purbalingga. Bahkan beberapa pelaku industri yang kebanyakan berasal dari Korea Selatan, mengaku bila kondisinya masih serupa hingga beberapa tahun mendatang, maka industri rambut dan bulu mata palsu di Purbalingga hanya akan bisa bertahan 5-10 tahun lagi.

Investor PT Indokores Sahabat Mr Hyung Don Kim yang berkebangsaan Kores Selatan, menyebutkan kondisi perusahaannya saat ini boleh dikatakan stagnan. ''Jika pasaran lesu seperti saat ini, dan kondisi tidak nyaman, kami memprediksi perusahaan kami hanya akan bisa bertahan 5-10 tahun lagi,'' kata  Mr Kim saat menyambut kunjungan kerja Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi, Kamis (10/10).

Mr Kim menambahkan, kompetitor utama  bulu mata palsu dari Purbalingga, saat ini harus bersaing ketat dengan produsen serupa dari Cina. Sedangkan untuk produksi rambut palsu atau wig, kualitas produksi dari Purbalingga masih lebih baik kualitasnya, dibanding produksi serupa dari India dan Cina.

''Namun untuk bahan bakunya, kami mengandalkan pasokan impor dari India dan Cina. Bahan baku rambut sintetis dari Indonesia, kualitasnya kurang bagus karena banyak dicampur bahan lain. Bahkan ada juga bahan baku rambut sintetis yang sambungan,'' katanya.

Investor PT Hyup Sung Indonesia Song Hyung Keun yang juga asal Korea Selatan, bahkan menyebutkan produksi bulu mata palsu di perusahaannya sejak beberapa tahun terakhir mengalami penurunan tajam. Hal ini  seiring dengan permintaan pasar yang anjlok, karena kalah bersaing dengan produksi Cina yang harganya lebih murah.

''Sebelumnya, kami bisa memproduksi 1,3 juta pieces per bulan. Namun saat ini turun hingga sekitar 30 persennya. Dalam kondisi seperti ini, mau tidak mau kami juga harus mengurangi jumlah karyawan dari 1.900 orang menjadi tinggal 1.300 orang,'' katanya.

Mr Song menambahkan, produktivitas tenaga kerja di Cina lebih tinggi dari Purbalingga. Bahkan, mereka cenderung meminta lembur bekerja. Sedangkan di sisi harga,  bulu mata palsu asal Cina juga lebih murah dengan  kualitas yang sudah menyerupai produk rambut Purbalingga.
Baca Juga
Debit Mata Air di Purbalingga Turun 40-50 Persen

Pendapatan Perangkat Desa di Purbalingga Naik

92 Desa Terdampak Kekeringan di Purbalingga
''Dalam kondisi seperti ini, kami juga harus melakukan penyesuaian.  Caranya dengan mengurangi karyawan dan meningkatkan produktivitas pekerja serta inovasi produk,'' kata Mr Song.

Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi menyebutkan, di wilayahnya ada beberapa perusahaan yang memproduksi rambut dan bulu mata palsu. Selain PT Indokores Sahabat  PT Hyup Sung dan PT Sun Chang Indonesia yang merupakan perusahaan PMA (Penanaman  Modal Asing) sal Korea Selatan, satu perusahaan pabrik rambut Bintang Mas Triyasa (BMT) yang merupakan perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri).

Terkait kondisi pasar global yang sedang terjadi saat ini, Bupati minta agar semua pihak yang terkait dengan industri bulu mata palsu Purbalingga, bisa menahan diri. ''Kondisi saat ini memang cukup sulit bagi industri rambut dan bulu mata palsu. Namun kami berharap, semua pihak bisa menahan diri sehingga industri ini bisa tetap bertahan bahkan berkembang lagi,''' katanya.

Saturday, July 13, 2019

Investasi di Jateng, Ibarat Meminang Gadis Seksi

Sat, 13 Jul 2019 - 06:30 WIB 1153

https://www.suaramerdeka.com/news/baca/188825/investasi-di-jateng-ibarat-meminang-gadis-seksi


TAHUN lalu, Presiden Joko Widodo datang ke Purbalingga meresmikan pembangunan Bandara Jenderal Besar (JB) Soedirman. Ini jadi momentum positif untuk pertumbuhan perekonomian di kabupaten itu dan daerah sekitarnya. Dia berharap, investasi di daerah-daerah itu semakin membesar. Tidak hanya industri bulu mata dan rambut palsu saja, tapi industri lain yang berorientasi ekspor.

Ternyata, efek positif dari pembangunan bandara itu langsung terasa. Meskipun belum jadi, namun para investor berbondong-bondong menanamkan modalnya ke Purbalingga, membangun pabrik.  Sebut saja, pembangunan hotel bintang empat Grand Braling Hotel, pabrik boneka John Toys, pabrik obat herbal PT Herba Emas Wahidatama, pabrik rambut PT Cahaya Abadi Cemerlang dan PT Sun Chang Indonesia dan Universitas Perwira Purbalingga.

Wal hasil, pada 2018, nilai investasi di Purbalingga terlampaui Rp 622,8 miliar atau naik 132,5 persen dari target Rp 470 miliar. Jumlah itu naik 10 persen dari tahun sebelumnya yang nilainya Rp 547,46 miliar.

Situasi dan kondisi Purbalingga yang kondusif menjadi poin penting untuk investasi. Kabupaten di kaki Gunung Slamet ini hampir tidak ada demonstrasi buruh. Terbukti, ada 24 perusahaan modal asing yang selama ini eksis tetap kegiatan usaha dengan cukup lancar.  "Tidak pernah ada hal-hal yang sifatnya mengganggu," kata Plt Kepala Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Purbalingga, Mukodam, Jumat (12/7).

Terlebih lagi, lanjutnya, ke depan, Purbalingga bakal punya bandara komersial yang sesuai rencana target sudah operasional di 2020. Ini akan menjadi magnet tersendiri bagi investor yang masuk ke Purbalingga. Belum lagi, infrastruktur pendukung aksesbilitas antarkecamatan sekarang sudah ditingkatkan sedemikian rupa. Jalannya lebar dan halus.

Keberadaan exit tol Pemalang juga menjadi aksesbilitas semakin bagus untuk investasi. Artinya, untuk mobilisasi produk industri semakin mudah menuju Pantura. Pemprov juga sudah meningkatkan aksesbilitas dari Purbalingga ke Pemalang dengan memperlebar jalan. "Selama ini, perusahaan di Purbalingga yang produknya diekspor, ingin akses ke Pantura dipermudah," kata Mukodam.

Para investor yang akan menanamkan modalnya di Purbalingga, juga tidak perlu khawatir akan tanaga kerja. Ketersediaan tenaga kerja di Purbalingga masih sangat memungkinkan terutama kaum Adam. Tidak kalah penting, upah minimum kabupaten (UMK) juga bersaing dengan kabupaten tetangga.

Pemkab Purbalingga, melalui dinasnya, memberikan fasilitas kemudahan bagi calon investor. Perizinan saat ini sudah menerapkan online singgle submission, artinya, untuk mengurus izin, investor tidak harus ke kantor perizinan. Cukup dari kantor perusahaan itu sendiri atau bahkan dari rumah menggunakan ponsel berbasis android. "Komunikasi antara pengusaha dengan stakeholder dipermudah untuk mendukung peningkatan investasi," imbuh Mukodam.

Susun RTRW

Dan perlu diingat, sekarang Pemkab Purbalingga tengah menyusun ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan meningkatkan lahan peruntukan investasi mencapai 300 persen luasannya dibanding RTRW yang sebelumnya.

Naiknya investasi di Purbalingga seiring dengan naiknya investasi di Jawa Tengah. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo, baru-baru ini mengatakan, tahun lalu, target investasi sebesar Rp 47 triliun, namun bisa teralisasi hingga Rp 59 triliun.

Nah, tahun ini ditarget Rp 56 triliun. Hal itu bukan beralasan. Adanya Tol Trans-Jawa dan munculnya kawasan industri di sejumlah kabupaten/kota menjadi magnet bagi investor. Dari catatan DPMPTSP, banyak investor yang akan masuk di wilayah pantura. Sebut saja di Pemalang, Demak, Semarang, Kendal, Brebes dan Tegal.

Di berbagai kesempatan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berujar, Jateng itu seperti gadis seksi yang sangat menarik untuk dipinang. Para investor seharusnya tidak perlu berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di Jateng.

"Sangat seksi. Nilai kompetisi kita tinggi. Tidak lagi bersaing dengan provinsi tetangga, tapi sudah dengan Vietnam. Kita sangat menarik, jadi mereka (investor) mau datang. Mereka yang sudah menanamkan modalnya, relatif kerasan dengan kultur dan kinerja di Jateng," katanya di Purbalingga, Jumat (12/7).

Dengan target investasi Rp 56 triliun, Ganjar punya jurus jitu untuk menarik para investor, salah satunya yakni tour investasi. Berkeliling menawarkan seksinya Jateng pada para investor terutama dari asing. "Ada kawasan khusus, kawasan ekonomi, kawasan industri. Beberapa kabupaten membuat itu. Memang yang banyak masih di Pantura. Nah, selatan yang mau membuat Cilacap, Banyumas, Purworejo, ini kita tawarkan ke banyak negara," katanya.

Untuk Purbalingga, mungkin kawasan itu belum, tapi kota ini sudah punya industri besar rambut dan bulu mata. Apa lagi untuk dua mata ini, banyak dari penanaman modal asing (PMA). Hal itu, menurutnya sangat luar biasa.  "Ini nanti kalau bandara (Bandara JB Soedirman) jadi, wuih sudah, sektor lain, seperti pariwisata di sini  juga akan boom. Maka pariwisata ini penting," imbuhnya.

Lebih lanjut, investor butuh fasilitas-fasilitas kemudahan. Antara lain insentif tax holiday dan izin yang gampang. Hal inilah yang terus didorong. Oleh karena itu, dia meminta para bupati, wali kota, camat, kades dan masyarakat wajib mendukung, permudah para investor sesuai dengan koridor aturan yang ada.

"Biar wellcome, jangan dikepruk, jangan diperes, izinnya yang mudah. Itu akan bikin orang (investor) seneng, kan mau menanamkan modal. Toh nanti yang kerja kan orang-orang sekitar juga," katanya.

Menurutnya, di Istana Bogor, Selasa (8/7), Presiden Jokowi meminta Jateng diharapkan jadi penopang ekonomi nasional. Jateng punya potensi besar di bidang industri dengan hasil ekspor dan bidang pariwisata. Pemerintah pusat pun siap memberikan sokongan bantuan untuk percepatan pertumbuhan perekonomian tersebut.

Saturday, April 6, 2019

The hair collectors: Where wigs and hair extensions come from

Rosita Boland  Apr 6, 2019 15 min read

IN THE SLUMS OF BANGALORE, PEOPLE GATHER RAW MATERIAL FOR A MULTIBILLION-EURO INDUSTRY. HERE, HUMAN HAIR IS A VALUABLE COMMODITY THAT FETCHES A HIGH PRICE IN THE BEAUTY SALONS OF THE WEST. PHOTOGRAPHS AND VIDEO BY BRENDA FITZSIMONS

Deep in a slum west of the Indian city of Bangalore, a man is unlocking a large metal trunk. Rats scurry nearby, and there is a visceral smell from the rotting rubbish piled up all around.

This fragile, terrible slum constructed of wood and pieces of plastic has been home for a decade to Yallappa, the man with the key to the trunk’s padlock, and 40 others, including children.

Yallappa pushes up the lid of the trunk and puts his hands inside. In a kind of frenzy he starts to toss out the contents: small, bulging plastic bags. One bursts open and exposes loose clumps of human hair. Yallappa starts opening more and more bags, pulling out more and more tangled strands of hair. All of it has been gathered by waste pickers in this slum from the brushes and combs of women in homes within a 5km range.

This is the first link in a chain that leads all the way to high-end hair salons and specialist wig shops in the West; an ever-growing, multibillion-euro industry. The top importers of human hair are the United States, United Kingdom, Japan, France, China and South Korea.

There are 1.3 billion people in India, and these 40 residents of Kadabgere slum are among the poorest of its poor. They are waste pickers, people who collect paper and plastic rubbish from streets and homes, and sell it on for recycling. In a country where so many have so little, things that seem worthless can actually be valuable. Such as human hair.

Play Video
Entrepreneurship comes in many forms, and although Yallappa lives in what most people in Ireland would consider abject poverty, he is a successful businessman within his community.

     

It works like this. Other people in this slum, such as Krishna and Shankara (most of the people I talk to go only by their first names), who are sitting beside him, collect hair. They collect only women’s hair. Long black hair has the most value; grey or white hair fetches just a third of the price.

It takes Krishna and Shankara between eight and 10 days to collect a kilo of hair each. Yallappa buys it from them, at 2,400 rupees, or €31, a kilo. He then sells it on for 3,000 rupees, or €38, a kilo. Yallappa himself does not collect hair. He is the entrepreneur who sells on the product.

Patiently, via a translator, the three men explain why collecting hair is considered far superior to collecting plastic or paper.

“They are not picking things up from the street,” Yallappa says.

“Hair is much lighter to carry,” Krishna says.

“You get more money per kilo for hair,” says Shankara.

Yallappa sells the hair on to what the translator describes as an aggregator. The aggregators are always men, and they visit the slums fortnightly or monthly to collect the hair.

At this point the onward trail becomes much more obscure, but the hair continues to change hands. The one certainty is that by the time Indian-sourced hair extensions and wigs end up in the West, their price has soared.

By the time the hair is sold in Dublin it is worth €3,000 a kilo, almost 100 times as much as the hair collectors in Kadabgere get for it
One Dublin hair salon charges €379 for human hair extensions – “full head based on 125 grams”. No country of origin is specified, but it’s evident that the value of the hair continues to depend on weight, no matter how far it has travelled.


By the time the hair is sold in this salon it is worth €3,032 a kilo. Based on the starting price in India of €31 a kilo, that’s almost 100 times as much as the hair collectors in Kadabgere get, right at the start of this chain.

Another Dublin salon quotes its hair extensions as ranging from “€275 up to €1,180”. It describes the hair it uses as “the finest handpicked Indian ritual hair” and “great quality Remy Indian temple hair”.

If you google “Remy Indian hair”, the definition that comes up is “100 per cent real Indian human hair, chemically unprocessed and intact from the donor”.

Saljaya hangs her gatherings to dry after washing it in a bucket
SALJAYA, WHO IS 20, HANGS HER GATHERINGS TO DRY AFTER WASHING THE HAIR IN A BUCKET
India, with a population of more than a billion, creates plastic and paper waste on an unimaginable scale. The government does what it can to collect it, but such is the scale that much household waste goes straight to landfill, or is burnt.

Many, many small organisations around India try to recycle the country’s waste in a more environmentally friendly way. One of them, Hasiru Dala, is a nonprofit in Bangalore. Its name means Green Force in English, but while its core activity is recycling, what really makes it stand out is its focus on social justice and social inclusion.

Hasiru Dala works with the waste pickers, the poorest and most marginalised people in India. “We try to fill in the gaps that the government doesn’t provide for,” explains Nailini Shekar, who founded the organisation.

It works with 35,000 waste pickers in and around Bangalore, including those in Kadabgere slum who collect hair. Hasiru Dala provides a coveted identity card to each person, a permit that shows they have the right to collect waste.

The cops used to harass waste pickers who went to houses. But they don’t do that any more, and they also have respect now from the people in the houses they collect from
The identity card is usually the only piece of formal paperwork these people have ever had. It gives them both dignity and a means of making a living. As Shekar puts it: “When the narration around waste pickers changed, the attitude to them from other people changed too.”


“Respect” is what getting a permit and identity card from Hasiru Dala meant to Sampangi, a picker whom we meet at a dry-waste recycling centre. She shows us a tattered photocopy. The precious original is kept at home. “A rat might do something to it here,” she explains.

The translator elaborates on the value of an official permit and identity card: “The cops used to harass waste pickers who went to houses. But they don’t do that any more, and they also have respect now from the people in the houses they collect from.”

Before Hasiru Dala got involved, these people collected rubbish ad hoc from the streets, and sold it on where they could. Some still do this, but the difference now is that it is bought by one of the 33 designated dry-waste recycling centres established by Hasiru Dala and run by waste pickers themselves.

Others now collect paper and plastic and other domestic dry waste – waste with a guaranteed value – and bring it to the recycling centres to be sorted.

Nailini Shekar estimates that this system now results in 723 tonnes of waste every month being diverted from landfill, in this city alone. So it’s not only that waste pickers now have a steady and guaranteed source of income, plus the respect conferred by an identity card, but also that the environment benefits, too.

The organisations work only with adults, and encourage children to attend school whenever possible. They collect only from homes.

Sampagi, who is 35, is a dry-waste picker in Bangalore. She employs her husband and son
SAMPAGI, WHO IS 35, IS A DRY-WASTE PICKER IN BANGALORE. SHE EMPLOYS HER HUSBAND AND SON


Mansoor (seated) with employees at his dry-waste depot in Bangalore
MANSOOR (SEATED) WITH EMPLOYEES AT HIS DRY-WASTE DEPOT IN BANGALORE
All the waste pickers live in slums. Some of these are long established, created over decades, and built with brick. Others are fragile temporary shacks on wasteland, where land owners can move everyone on overnight. Still others – the absolute poorest slums – are built around mounds of plastic and paper, waiting to be sorted. To a western eye, it looks as if their residents are literally living in a dump.


Common to every slum are the huge bags of rubbish collected by the waste pickers who live there. At Kadabgere slum, dozens of bags of plastic and paper are piled up near the entrance. These bags are weighed and collected frequently by the trucks that bring them to one of Hasiru Dala’s recycling centres.

Plastic water bottles sell for an average of 20 rupees, about 6c, a kilo. Cardboard is six rupees a kilo. Single-use plastic is 10 rupees a kilo.

On one of the five days that we work with Hasiru Dala, we visit the largest of its dry-waste recycling centres. Waste collected from within a 70km radius is deposited here, of the kind picked up from Kadabgere slum.

The city of Bangalore is divided into 198 wards; this is ward 150. The centre looks like acreage of landfill, with six months of collected waste spread all around. It backs on to apartment blocks; there is no such concept as “not in my back yard” here.

The facility at ward 150 is the largest-scale recycling centre we see, and the volume alone makes a powerful visual impact. Without the waste pickers collecting this domestic waste, all of this plastic, paper and dry household goods would have ended up in landfill.

A feral puppy scampers by, tail wagging, large rat in its mouth. That rat is dead, but, judging from the constant shifting and rustling within the mounds of garbage, there are many more live ones nearby
This first thing that hits us is the smell. Although households presort their rubbish into paper and plastic before waste pickers collect it, they don’t wash the food containers. And there are also many other items in different piles, such as empty aerosol cans, detergent bottles, shampoo bottles and cleaning products, all producing fumes.


I had had a different image in my head of what a dry-waste recycling centre would look like. Cleaner. Less visceral. A feral puppy scampers by, tail wagging, large rat in its mouth. That rat is dead, but, judging from the constant shifting and rustling within the mounds of garbage, there are many more live ones nearby.

There are no machines of any kind here. Hasiru Dala does provide the pickers who collect and sort rubbish with gloves and masks, but in the course of a week I don’t see anyone wearing them.

Salim working in a dry-waste centre in Bangalore
SALIM WORKING IN A DRY-WASTE CENTRE IN BANGALORE
A woman seperates waste plastic in Bangalore
A WOMAN SEPERATES WASTE PLASTIC IN BANGALORE
This is how the waste gets sorted. Small trucks periodically enter the site and offload their contents into an open-sided breeze-block structure. Then the waste pickers who work as sorters sit down in the middle of piles of plastic and paper and start the laborious process of dividing and grading it – all of it by hand.

The plastic lids on bottles are of a different weight and substance from the bottles themselves, so they have to removed and put in separate crates. Clear plastic goes in one crate, coloured in another. Aerosol cans have first their lids removed, then the small plastic tops, then the inner stems. That’s four components for one object. It’s painstakingly slow.

The hands of these waste pickers, particularly those dealing with containers that had held cleaning products, are raw with burns. And once the aerosol cans are deconstructed, and lids taken off products such as bleach, fumes rise into the face of whoever is working on them.

About 60 per cent of what arrives on site can be recycled. Certain items, such as furniture, mattresses and shoes, can’t be recycled. Single-use plastic items, such as cutlery, was banned in Bangalore in 2016. However, it continues to be illegally produced, and holds the lowest value.

In the West we consider the strands left on a hairbrush or comb to be worthless. But, in India, most of the women who save this hair for the collectors want something in exchange
Crisp packets, biscuit wrappers and other plastic-foil items can’t be recycled at all. They are burnt, and the ashes used in the cement industry.

The average daily rate for women sorters at these recycling centres is 400 rupees, or about €5. For men it’s more, because, in addition to sorting, men drive the vehicles that bring the rubbish on site, and also offload it. They get 600 rupees, or about €7.50.

It’s a horrible job, but you’d have to collect a lot of plastic water bottles to make the daily equivalent. These jobs as sorters are valuable to those who hold them.

This whole enterprise has the potential to be replicated in other Indian cities and scaled up; to continue to cut down on India’s landfill and provide waste pickers with steady jobs and respect from the wider community.

The waste pickers at Kadabgere slum who collect hair, such as Krishna and Shankara, do not wash or sort it before they sell it to Yallappa. He does not pay anyone to do any further preparation work on it either, and sells it on, unwashed and unsorted, but the process is different in different slums.

Seventy families live in the Bangalore TC Pulaya slum. Of these, 25 collect hair; the others work in construction. Here it’s women who are the hair collectors, carrying on the tradition from their parents, who also did this work. Gangamma is one such woman whose waste-picker parents also collected hair. “There is more money in collecting hair,” another woman, Saljaya, tells us.

Here it takes one person 15 days to collect a kilo of hair. (They also keep their own hair.) Every slum has a different metric of how long it takes to collect this much hair, based on how far people have to walk, the density of the housing, the number of women per household who keep their hair.

The women here – Vishwaramma, Alvelamma, Kavita, Padmavathi, Saljaya and others – go out collecting hair six days a week. Unlike at Kadabgere slum, their work doesn’t stop there. They also sort and wash the hair.

The hair the women in this slum collect does not come free. In the West we consider the strands left on a hairbrush or comb to be worthless, destined only for a dustbin. But in India, most of the women who go to the trouble of saving this hair for when the collectors come around want something in exchange for it.

We follow Vishwaramma, Gangamma, Saljaya, Padmavathi and Tulashi out of Pulaya slum, as they take us through some of the streets they walk on a regular basis.

A woman appears. She has a handful of hair in one palm. One of the collectors examines it, then passes over a small cup in exchange. The cup is worth10 rupees, the equivalent of a few cent
They have their barter items with them. Some are carrying pieces of cardboard with hair clips on them. Others are carrying cheap aluminium vessels; drinking containers, plates and bowls. Some are tiny, others larger: the barter depends on how much hair there is to be collected.

What the women call out as they traverse the streets is, “You have hair? You have hair?” Some of them tap their vessels to make a noise, or rattle the front gates of houses. They have different routes for different days.

A woman appears and opens her gate. She has a handful of hair in one palm. One of the collectors examines it, testing the volume and looking to see whether it’s all black or has some white or grey mixed in. She then passes over a small cup in exchange. I ask the value of the cup; 10 rupees, the equivalent of a few cent.

The women in this slum also receive 3,000 rupees per kilo of black hair from the men who buy it from them. But they have to do a lot more extra work before they receive this money. Collecting the hair takes only a few hours. Far more additional time is spent sorting, washing and plaiting it.

Women sort through hair in Bangalore
WOMEN SORT THROUGH HAIR IN BANGALORE
THE PRICE OF HAIR
€31 per kilo
Income of hair picker in Bangalore slum

€38 per kilo
Income of hair dealer in Bangalore slum

€379
Price of human hair extensions – “full head based on 125 grams” – in a Dublin salon

€3,032 per kilo
Equivalent price of hair extensions in Dublin, almost 100 times what the hair collectors in India get

<>
Parvati collects hair to support her family
PARVATI COLLECTS HAIR TO SUPPORT HER FAMILY
When we return to the slum, some other women are sitting on a mat, sorting grey and white hair from black; working on hair they previously collected. They are picking through the hair strand by strand. For a while we just sit and watch. The women are sitting companionably together, chatting in the hard sunlight, their hands busy.

From a distance they could be women anywhere in the world, working in a craft circle; doing sewing, or knitting or embroidery. But they are not sewing or knitting. They are carefully separating the valuable black hair (3,000 rupees a kilo) from the grey and white (1,000 rupees a kilo). When it’s separated they wrap it around their fingers, as if they were carding wool.

When the hair is sorted it’s organised into hanks, held together by a few rows of tiny plaits at the top. It’s washed after that, if you consider dunking hair in cold water in filthy containers, and then squeezing the water out, to be washing. One woman, Saljaya, hangs wet hanks of long black hair on a line. The effect is surreal.

In this slum the male buyer calls on Sunday to collect the hair. It’s the beginning of a journey that the British academic Emma Tarlo examined in her book Entanglement: The Secret Lives of Hair.

Hair extensions last only a few months. Human-hair wigs rarely last more than one year. So the demand for hair generally exceeds supply
Tarlo, a professor of anthropology at Goldsmiths, University of London, travelled the world looking at the culture of hair: the collection, sale and processing of it. In a chapter entitled Harvest, Tarlo writes that hair collection is common in India, Myanmar, Cambodia, Vietnam, Laos and Mongolia.

In Yangon, one merchant who buys hair told her he sells most of it to Chinese manufacturing companies. Another said he sold his stock through the Chinese trading website Alibaba, with his main clients coming from the United States, Germany, Brazil, Turkey and Lebanon. A third told Tarlo he estimated that 500,000 people worked in Myanmar’s waste-hair industry.

All this waste hair is made into extensions and wigs. Hair extensions, whether stuck, stitched or clamped to a customer’s head, last only a few months. Human-hair wigs worn daily rarely last more than one year. Thus, Tarlo writes, “the demand for hair generally exceeds supply, fuelling an almost constant sense of scarcity”.

In October last year, it was reported that the global hair wigs and extension market is estimated to exceed €9 billion by 2023. A large proportion of this hair comes from India, and it is thought most of it now goes to China, to be processed, before being sold on, to salons in the West. Tarlo reports that India’s biggest waste-hair exporter is Gupta Enterprises, which claims to have an annual turnover of up to €58 million.

It is hard to be certain about those figures. What is certain, however, is that the hair we are looking at in the TC Pulaya slum in India will eventually end up as hair extensions or in a wig, somewhere in a western hair salon. Perhaps even the one you use.


Rosita Boland and Brenda Fitzsimons travelled to India with the support of the Simon Cumbers Media Fund


Sumber :
https://www.irishtimes.com/life-and-style/fashion/beauty/the-hair-collectors-where-wigs-and-hair-extensions-come-from-1.3848296

Friday, March 22, 2019

Wig dan Bulu Mata Palsu Buatan Indonesia Laku di Italia

- 22 Maret 2019, 22:07 WIB


BOLOGNA,- (PR), Bulu mata palsu dan wig produk Indonesia menjadi primadona dalam pameran kosmetik Cosmoprof yang dilaksanakan di Bologna, Italia, 14-18 Maret 2019 lalu.

Atase Perdagangan KBRI Roma, Sumber Sinabutar kepada kontributor Pikiran Rakyat, Rieska Wulandari di Milan menjelaskan bahwa berdasarkan pengamatan selama beberapa kali mengikuti pameran Cosmoprof, stand Indonesia yang umumnya memamerkan produk bulu mata dan rambut palsu selalu ramai dikunjungi pengunjung. Pengunjung umumnya tertarik dengan bulu mata dan rambut palsu Indonesia karena terbuat dari rambut asli manusia.

Pengunjung menyampaikan kekagumannya terhadap kualitas produk bulu mata dan rambut palsu Indonesia, yang tidak dimiliki oleh pesaing dari negara lain. Produk buatan negara lain umumnya menggunakan bahan sintetis maupun bulu hewan. Pada pameran kali ini, Indonesia menghadirkan lima perusahaan bulu mata dan rambut palsu.

Sumber Sinabutar juga mengatakan, selama kegiatan pameran ini, lima perusahaan Indonesia yang ikut pameran Cosmoprof berhasil mencapai potensi penjualan sebesar USD 9.9775.000. Pencapaian tersebut menurutnya meningkat 19,12 % dibandingkan dengan pencapaian tahun 2018 yaitu sebesar USD 8.374.000.

Dijelaskan juga bahwa peningkatan pencapaian tersebut tidak terlepas dari kehadiran Indonesia yang secara terus menerus pada pameran Cosmoprof ini. Kehadiran Indonesia yang secara terus menerus ini telah membantu para peserta Indonesia untuk bertemu kembali dengan calon pembeli yang hadir pada tahun sebelumnya. Pertemuan lanjutan ini akan menghasilkan pengakuan terhadap bonafiditas perusahaan Indonesia tersebut dan akan menghasilkan potensi transaksi pembelian


Sumber :
https://www.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-01308750/wig-dan-bulu-mata-palsu-buatan-indonesia-laku-di-italia

Thursday, March 21, 2019

Bulu Mata dan Rambut Palsu Buatan Indonesia Laris Manis di Italia

21 Mar 2019, 14:20 WIB

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3922547/bulu-mata-dan-rambut-palsu-buatan-indonesia-laris-manis-di-italia


Liputan6.com, Jakarta - Bulu mata palsu dan wig produksi Indonesia menjadi primadona pada Pameran Produk Kosmetik dan Kecantikan Cosmoprof yang diadakan di Kota Bologna, Italia, dari 14-18 Maret lalu.

Pengunjung pameran dengan antusias dan menyampaikan kekagumannya terhadap kualitas produk bulu mata dan rambut palsu produksi Purbalingga, Jawa Tengah. Duta Besar di Roma, Esti Andayani yang turut hadir dalam pameran ini menyampaikan bahwa partisipasi Indonesia dalam Cosmoprof adalah dalam upaya memperluas akses pasar UKM dalam rangka pengembangan usaha dan penetrasi pasar global.

Dalam pertemuannya dengan President of Bologna Fiere, Gianpiero Calzolari, dia mengharapkan pameran seperti ini dapat diselenggarakan di Indonesia karena Indonesia memiliki nilai strategis dengan daya tarik potensi pasar yang besar, serta daya beli masyarakat kelas menengah yang kuat khususnya untuk produk kecantikan.

KBRI Roma dan ITPC Milan mendukung partisipasi lima perusahaan bulu mata dan rambut palsu Indonesia yaitu PT Bio Takara, CV Mitra Jaya Mandiri, PT Stellaris International, CV Indobeauty Cemerlang dan Shim Internasional.

Menurut Atase Perdagangan KBRI Roma, dikutip Antara, selama empat hari kegiatan pameran, tercatat potensi penjualan senilai USD 9,97 juta atau Rp 140 miliar (Kurs USD 1 = Rp 14.115), angka ini meningkat sebesar 19,12 persen dibandingkan dengan pencapaian 2018 senilai USD 8,37 juta atau Rp 118,1 miliar.

Pencapaian tersebut tidak terlepas dari kehadiran dan partisipasi Indonesia secara konsisten dalam pameran Cosmoprof untuk memelihara komunikasi dan hubungan bisnis dengan para buyers dari tahun ke tahun. Kesinambungan ini juga menghasilkan pengakuan terhadap bonafiditas perusahaan Indonesia dan potensi transaksi pembelian yang cukup besar.

Kebangkrutan. Ini yang membuka jalan Okvina Nur Alvita menggeluti bisnis bulu mata. Tepatnya pada Maret 2017, ibu rumah tangga ini memberanikan diri memulai bisnis bulu mata bersama sang suami usai mengalami gulung tikar dari usaha sebelumnya.

Kebiasaan Vina berdandan juga ikut menjadi pemberi ide bisnis bagi dirinya dan suami. "Suamiku pernah melihat ada mbak-mbak di Jakarta pernah kerja jadi perajin bulu mata dan dia banyak tanya soal bulu mata dan aku juga suka make up. Dia melihat jika wanita hanya memakai bulu mata satu sampai 3 kali dibuang. Kemudian make up artis kalau pakai bulu mata berlapis-lapis. Lalu kami melihat ada peluang kami nekat jualan," jelas dia kepada Liputan6.com.

Saat itu, Vina mengaku berjualan bulu mata hanya untuk menyambung hidup. Perlahan, dia mulai menjual bulu mata melalui akun media sosial dan marketplace salah satunya Shopee.

Lama kelamaan, jualan Vina mulai laris. Dia pun memutuskan untuk menggarap secara serius bisnis bulu mata dengan memproduksinya sendiri. Ini dimulai pada Akhir 2017.

Nama Meisa Bulu Mata menjadi pilihan produknya. Tak ada makna dari nama produk ini, namun kata inilah yang spontan terlontar keluar saat anaknya bicara.

"Lama-kelamaan, penjualan kita bagus dan kita akhirnya serius menggarap Meisha bulu mata dengan model macam-macam dari 8 model kini menjadi 60 model," tutur dia.

Meisa bulu mata dijajakan seharga Rp 12 ribu sampai Rp 29 ribu per piece. Agar produknya kian diminati, wanita lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini pun terus memperbaiki kualitas produk dan kemasan.

Selama ini, Meisa bulu mata dikerjakan para perajin yang berada di Jawa Tengah. Vina mempercayakan pengerjaan produk pada 2 perajin besar dengan jumlah pekerja mencapai puluhan orang.

"Saya mendesain sendiri, dan aku terus memperhatikan pembuatannya dengan menerima sample beberapa kali sampai aku oke baru memproduksi secara banyak," tambah dia.

Meisa bulu mata dibuat dari dua bahan baku yakni rambut manusia asli dan rambut sintetis. "Produk paling laku adalah yang seharga Rp 14 ribu," kata dia.

Kini Vina mampu menjual puluhan ribu pieces bulu mata per bulannya. Dengan pelanggan berasal dari Sabang hingga Merauke. Bahkan, dia juga kerap menerima pesanan dari pembeli mancanegara seperti Singapura dan Australia.

Adapun pembelian terbesar masih didominasi melalui marketplace, salah satunya melalui Shopee. Tak heran, Vina pun menjadi salah satu penjual atau seller pilihan Shopee.

Meski menerima banyak pemesanan dari berbagai wilayah, penjualan terbanyak berasal dari dua pulau yakni Sulawesi dan Kalimantan. "Pembeli yang pesan banyak make up artis, toko atau perorangan," ungkap dia.

Vina bersama keluarga kini tinggal di Bali. Kota ini pula yang dijadikan sebagai kantor pusat berbisnis Meisa Bulu Mata.

Dia pun menambahkan kata "False Lashes From Bali" pada produk Meisa Bulu Mata. Ini bukan tanpa maksud. Tapi sesuai dengan mimpinya yang ingin menjadikan produknya dikenal dunia.

"Aku tambahkan False Lashes from Bali. Meski produksi tidak di Bali tapi ide, create, desain semua di Bali. Aku ingin orang kenali bulu mata Indonesia," jelas wanita 32 tahun ini.

Satu hal menarik dari cara Vina menarik konsumen adalah, dia selalu menyelipkan tulisan tangan dari dirinya langsung. Ini menjadi bukti perhatian dirinya kepada pembeli.

"Isi surat kecil itu pertama aku tulis nama customer, kemudian ucapan terima kasih ya sudah berbelanja di Meisa bulu mata semoga kakak suka dengan bulu mata kami dan ditunggu pesanan berikutnya," kata Vina menjelaskan isi surat kecilnya.

Kini, Vina bisa meraup omzet dalam jumlah besar mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Dia berharap bisa membuka cabang di daerah lain, seperti di Jakarta.

Tak berhenti pada bisnis bulu mata, wanita kelahiran Jember ini tengah mencoba untuk memasuki bisnis produk kecantikan lain yakni produk lipstik.

"Aku sedang mengembangkan ekspansi ke bisnis lipstik karena itu makanan kedua perempuan walau sudah punya warna yang sama tapi mereka sering memiliki yang lainnya," dia menandaskan.

Dia pun berharap produk lipstik miliknya yang bernama VLS Bali bisa sukses seperti Meisha Bulu Mata.

Tuesday, March 12, 2019

Karangbanjar Purbalingga Jadi Pusatnya Pengrajin Rambut Palsu Wig, Sudah Mampu Tembus Pasar Ekspor

Selasa, 12 Maret 2019 20:47

https://jateng.tribunnews.com/2019/03/12/karangbanjar-purbalingga-jadi-pusatnya-pengrajin-rambut-palsu-wig-sudah-mampu-tembus-pasar-ekspor?page=all.


TRIBUNJATENG.COM, PURBALINGGA - Rambut palsu atau wig sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebaguian masyarakat modern yang begitu memerhatikan mode.

Tetapi siapa sangka, produk yang dipakai masyarakat internasional untuk meningkatkan kepercayaan diri itu dibuat tangan-tangan terampil perempuan desa di Purbalingga.

Desa Karangbanjar Kecamatan Bojongsari Purbalingga bisa dikatakan gudangnya industri kerajinan wig.

Rambut palsu bahkan sudah menjadi ikon desa ini karena sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai pengrajin wig.

Industri ini bahkan sudah ada sejak puluh tahun silam. Beragam produk rambut palsu tersedia di desa ini, mulai pemrosesan bahan baku hingga produksi rambut palsu.

Industri rambut palsu ini juga jadi kebanggaan Kabupaten Purbalingga karena produknya yang sudah menembus mancanegara.

Kemajuan industri rambut palsu di Purbalingga, khususnya di Desa Karangbanjar ini bahkan dikagumi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo saat mengunjungi stan rambut palsu Desa Wisata Karangbanjar pada Musrenbangwil Expo Tahun 2019 Eks Karesidenan Banyumas, Selasa (12/3).

“Rambut palsu atau wig-wig ini ternyata sudah ekspor, ini adalah produk yang luar biasa bahkan ini juga home industry,” kata Ganjar.

Ganjar pun berharap, keberadaaan Bandara Jendral Besar Soedirman di Purbalingga nantinya bisa membuat industri rambut di Purbalingga semakin dikenal dan menciptakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar.

Para pelaku industri, khususnya dari Desa Karangbanjar pun bisa memanfaatkan keberadaan bandara itu untuk memperluas pemasaran produknya agar lebih mendunia.

Koordinator Pokdarwis Desa Karangbanjar, Basis mengatakan, produk rambut palsu memang menjadi unggulan masyarakat Desa Karangbanjar.

Kualitasnya diklaim tidak jauh berbeda dengan rambut palsu yang diproduksi oleh PT.

Menariknya, industri rambut Desa Karangbanjar ini berbentuk home industri sehingga bisa memberdayakan masyarakat desa setempat. Ini sekaligus menjadi kelebihan lantaran penyerapan tenaga kerja lokal menjadi lebih maksimal.

“Keunggulan kita kan di kewirausahaan kalau di tempat lain dilembagakan menjadi PT. Keunggulan kita di pemberdayaan masyarakatnya karena yang mengelola semua ini masyarakat desa,” jelas Basis.

Untuk proses pemasaran, para pelaku industri di desa ini tidak hanya secara offline, tetapi juga memanfatakan media online termasuk media sosial.

Tidak sulit menemukan pengrajin wig di desa ini karena di masing-masing dusun berada. Meski pelaku industri banyak, masing-masing memiliki ciri usaha yang membedakan dengan yang lain, semisal soal variasi produk.

"Jadi kalau sudah memproduksi wig berarti dia gak memproduksi hair clip, kalau dia produksi hair clip dia gak memproduksi aksesoris,” ujarnya.

Di sisi lain, para pelaku industri wig di desa ini masih terkedala ketersediaan dan penyerapan bahan baku. Karena bahan baku yang digunakan adalah rambut manusia, kendalanya adalah pengumpulannya.

Ia pun berharap Desa Karangbanjar yang berhasil mengembangkan industri wig bisa menularkan virus kewirausahaan ke masyarakat luas.

“Kendala-kendala itu semoga bisa teratasi dan bisa masuk pasar global,” katanya.(*)

Wednesday, February 20, 2019

Statistics about Hair Industry

TEN SURPRISING STATISTICS YOU DIDN’T KNOW ABOUT THE HAIR INDUSTRY
Statistics and Trends
Feb 20, 2019

Haircare industry statistics

DID YOU KNOW THAT THE GLOBAL HAIRCARE MARKET IS SET TO GROW FROM $69 BILLION USD IN 2016 TO $87 BILLION USD IN 2023?

The global haircare market is comprised of a wealth of haircare products ranging from shampoos, conditioners, hair dyes, sprays, serums, oils, and newer products coming to market daily.

According to Statista.com, the landscape of hair industry has changed dramatically over the years. In 2019, consumers are seeking more natural, organic, and eco-friendly products. More specifically, consumers are looking for products that are alcohol-free, skin-friendly, hypo-allergenic or allergen-free, and made without animal testing.

Furthermore, because many consumers desire a youthful appearance, most haircare products on the market today are targeted towards those looking to increase volume, shine, and length.

However, as the needs of consumers are constantly changing, the market has evolved with it, providing an ever-increasing variety of products that are more specifically targeted towards individual consumer needs. Previously, many consumers would have to visit salons to get personalized recommendations based on their hair type, but the market has trended toward products that address specific issues, and these products are more easily accessible than ever before.

Because disposable income in the U.S is increasing, the spending on personal haircare items has increased along with it. This is also true for the U.K.

Niche industry are spending more and more on high-quality products. For example, the African-American haircare industry is estimated to exceed the $2.5 billion mark. This projection excludes hair accessories, wigs, extensions, and more. As women of color embrace their natural hair, there is a growing focus in this category for products that provide smoothness, shine, and moisture while maintaining naturally textured hair.

HERE ARE TEN MORE IMPORTANT HAIRCARE INDUSTRY STATISTICS:

In 2016, the United States hair industry statistics show more than 33% of the beauty and personal care segment worldwide, with 15% of the sales focused on haircare.

Shampoo holds the largest market share in the haircare segment and is estimated to grow to $30 billion USD by 2023 compared to $24 billion USD in 2016.

Although 2019 has barely started, the United States has generated a revenue of $12 million USD in the haircare market alone.

The next biggest revenue generator, after the U.S., in the haircare market is Japan, having generated almost $7 million so far in 2019.

The hair industry statistics show that the market in the U.S. will be accelerating at a CAGR of close to 2%.

Hair industry statistics show that  52% of consumers prefer to buy natural or organic shampoo.
There were 650,000 barbers, hairdressers, and cosmetologists in the U.S. in 2014, and that figure is expected to increase by 10% by 2024.

Haircut and hair styling services accounted for the largest percentage of services in the hair and nail salon industry in 2017.

The average American spends approximately $89.95 USD on haircare products in a year.

African American shoppers spent $473 million total in haircare in 2017, accounting for 8.8% of sales that year.

Keeping up-to-date on current world trends will help you make an educated decision on which haircare line you should be developing for your business. Partnering up with Schwartz Cosmetics, with over 50 years experience in the global contract manufacturing haircare industry, will ensure your success in building an on-trend and high-quality product for your expanding line.

Want to learn more about haircare trends and how to build your own product line? Reach out to Schwartz to get a customized product manufacturing consultation.


Sumber :
https://s-schwartz.com/statistics-and-trends/hair-industry-statistics/